
Infokaltim.id, Samarinda– Undang-Undang Kesehatan 2023 yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (11/07/2023) menimbulkan perdebatan, khususnya di kalangan tenaga kesehatan (nakes).
Ketua Fraksi PKS DPRD Samarinda, Sani Bin Husain, menyatakan kekecewaannya terhadap pemberlakuan UU tersebut. Menurutnya, pembentukan UU ini menggunakan pendekatan omnibus law yang berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang-undangan yang tidak transparan dan partisipatif.
“Menurut saya, pola-pola tersebut seperti halnya saat pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sedang berproses,” jelasnya.
Sani, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV, menentang penghapusan ketentuan mandatory spending atau ketentuan minimal anggaran kesehatan sebesar 5 persen.
“Jelas hal itu menunjukkan kurang komitmennya pemerintah pusat terhadap persoalan kesehatan di Indonesia,” ujarnya.
Anggota dewan yang juga doktor ini menambahkan, tidak ada urgensi yang jelas dalam rencana pembentukan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law dalam upaya menjawab permasalahan kesehatan di Indonesia.
Menurut Sani, pemerintah pusat seharusnya memberikan solusi bagi masalah kesehatan di Indonesia, bukan memicu polemik baru seperti pasal 235 yang memberikan kewenangan besar dan tidak terkontrol (super-body) pada pemerintah dalam mengatur profesi kesehatan. Ia merasa hal tersebut menguatkan dugaan pengambilan kewenangan organisasi profesi yang kemudian dialihkan ke Menteri Kesehatan (Menkes).
“Ditambah lagi polemik tentang pasal yang memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia. UU ini perlu kajian mendalam karena bukan saja terkait masalah kesehatan tetapi juga ketahanan negara,” tutup Sani.
[Lin|Ads]