Oleh: Mira Dhifa Septiana Mahasiswa Fakultas Hukum Universtitas Mulawarman Semester 5
Perparkiran di kota-kota besar selalu menjadi isu yang kompleks. Di kota Samarinda, juru parkir liar telah menjadi fenomena yang sering kali menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Juru parkir liar, dalam banyak kasus, bukan hanya beroperasi di luar kontrol pemerintah daerah, tetapi juga berpotensi melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Melalui artikel ini, saya ingin membahas fenomena juru parkir liar dari perspektif hukum dan menawarkan solusi yang dapat dipertimbangkan oleh pihak berwenang.
Dasar Hukum Perparkiran di Indonesia
Peraturan tentang parkir diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan daerah (Perda). Salah satu dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Dalam pasal-pasalnya, disebutkan bahwa pengelolaan parkir diatur oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari pengelolaan transportasi perkotaan. Selain itu, Peraturan Daerah Kota Samarinda mengenai parkir, yang meliputi Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, mengatur perizinan dan mekanisme pengelolaan parkir resmi.
Juru parkir resmi diatur dalam sistem yang mengharuskan mereka memiliki izin dan bekerja di bawah pengawasan instansi terkait, seperti Dinas Perhubungan (Dishub). Namun, juru parkir liar biasanya beroperasi tanpa izin resmi dan tanpa koordinasi dengan pemerintah kota, sehingga keberadaan mereka sering kali tidak diakui oleh hukum.
Juru Parkir Liar: Pelanggaran Hukum yang Merugikan
Fenomena juru parkir liar di Samarinda adalah pelanggaran hukum yang nyata. Juru parkir liar melanggar aturan retribusi dan parkir yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Dalam UU LLAJ, dinyatakan bahwa parkir di ruang publik harus melalui izin resmi. Dengan beroperasinya juru parkir liar tanpa izin, maka mereka melanggar ketentuan ini dan berpotensi menimbulkan kerugian pada pendapatan daerah, karena retribusi parkir yang semestinya masuk ke kas daerah justru tidak terhitung.
Selain aspek keuangan, adanya juru parkir liar juga menimbulkan potensi konflik hukum dan keamanan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa juru parkir liar kerap melakukan pemaksaan kepada masyarakat untuk membayar tarif parkir yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat tentang keamanan dan ketertiban umum. Terlebih lagi, tanpa pengawasan dari pemerintah, potensi tindak pidana seperti pemalakan dan pengancaman dapat meningkat.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Keberadaan Juru Parkir Liar
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan juru parkir liar di Samarinda juga terkait erat dengan masalah sosial dan ekonomi. Sebagian besar juru parkir liar berasal dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara ekonomi. Ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan formal sering kali mendorong mereka untuk terlibat dalam aktivitas ini demi memenuhi kebutuhan hidup. Ini menunjukkan adanya kesenjangan sosial yang perlu diatasi oleh pemerintah daerah.
Namun, keberadaan mereka tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat potensi dampaknya terhadap ketertiban umum dan perekonomian lokal. Juru parkir liar dapat menciptakan ketidakstabilan dalam pengelolaan parkir kota, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arus lalu lintas dan kenyamanan publik. Ketidakpastian mengenai tarif parkir juga bisa merugikan masyarakat pengguna jalan, terutama jika tarif yang dipatok jauh lebih tinggi dari ketentuan resmi.
Rekomendasi Solusi dari Sudut Pandang Hukum
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah daerah, khususnya Kota Samarinda, perlu mengambil tindakan yang tegas namun manusiawi. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:
1. Penegakan Hukum yang Konsisten
Pemerintah perlu memperketat penegakan hukum terkait parkir liar. Ini bisa dilakukan dengan patroli rutin oleh petugas Dishub dan Satpol PP untuk menertibkan juru parkir liar yang melanggar. Penindakan hukum harus diikuti dengan sanksi yang sesuai agar memberikan efek jera bagi pelanggar.
2. Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial
Juru parkir liar tidak hanya harus dipandang sebagai pelanggar hukum, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan dukungan. Pemerintah dapat menyediakan pelatihan dan akses ke pekerjaan formal bagi mereka, sehingga mereka bisa keluar dari lingkaran parkir liar. Program pemberdayaan ini bisa berbentuk pelatihan keterampilan kerja, bantuan modal usaha kecil, atau insentif bagi mereka yang mau bekerja secara legal.
3. Reformasi Sistem Parkir Kota
Untuk mengurangi potensi munculnya parkir liar, pemerintah perlu memperbaiki sistem perparkiran kota dengan memperbanyak lokasi parkir resmi dan memastikan tarif parkir yang transparan dan terjangkau. Pengelolaan parkir berbasis teknologi, seperti parkir elektronik, juga bisa menjadi solusi untuk meminimalisir interaksi langsung yang rawan pelanggaran.
4. Sosialisasi dan Edukasi kepada Masyarakat
Penting bagi pemerintah untuk terus menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan jasa parkir resmi. Masyarakat juga perlu didorong untuk melaporkan adanya juru parkir liar yang melakukan pemaksaan atau tindakan melanggar hukum. Dengan partisipasi masyarakat, pengawasan terhadap juru parkir liar dapat menjadi lebih efektif.
Fenomena juru parkir liar di Samarinda merupakan persoalan hukum dan sosial yang kompleks. Dari sudut pandang hukum, keberadaan mereka melanggar aturan yang ada dan berpotensi merugikan pemerintah serta masyarakat. Namun, dari perspektif sosial, ada kebutuhan untuk memperhatikan nasib mereka sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Oleh karena itu, solusi yang komprehensif, mulai dari penegakan hukum hingga pemberdayaan ekonomi, perlu diterapkan untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan juru parkir liar itu sendiri, diharapkan sistem perparkiran di Samarinda dapat menjadi lebih tertib dan adil bagi semua pihak.
**Opini ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab Penulis