Fungsi Pakaian Bagi Perempuan

Foto: Ilustrasi perempuan mengenakan jilbab. (Infokaltim.id/Ist).

Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.

Infodakwah- Selain berfungsi sebagai perhiasan yang diharapkan mampu menambah keanggunan pemakainya, Q.S. Al-A’rāf [7]: 26 juga menyatakan bahwa fungsi pakaian yang lebih penting dari sekedar perhiasan adalah menutupi aurat [yuwārī sauātikum] dalam rangka menjaga kehormatan pemakainya dari segala bentuk pelecehan.

Anggota badan yang masuk dalam kategori aurat seharusnya merupakan wilayah pribadi yang sangat privat, sehingga tidak layak untuk dibiarkan terbuka menjadi tontonan publik.

Kemudian perlu dicermati adalah bahwa ayat ini [7:26] menyebutkan dua fungsi pakaian sekaligus, sebagai perhiasan dan penutup aurat, yang secara tidak langsung ada sebuah pesan yang bisa ditangkap, yaitu bahwa dalam memilih pakaian tidak cukup hanya mempertimbangkan kualitas bahan, keindahan tekstur kainnya dan trend modelnya tetapi juga harus memenuhi kriteria spiritual tidak menampakkan aurat sesuai ketentuan agama, dan ini yang lebih penting.

Fenomena akhir zaman telah merubah sudut pandang manusia tentang substansi pakaian, karena yang diutamakan adalah bahan dan modelnya bukan ketertutupan auratnya sehingga banyak yang terlihat berpakaian modis dan mahal tetapi terkesan seperti telanjang karena hampir semua lekuk tubuhnya bisa dilihat akibat dari terbukanya mayoritas anggota badan dan tipisnya bahan.

Ini yang kemudian diungkapkan oleh nabi sebagai fenomena tanda semakin dekatnya kiamat dengan terminologi ‘āriyāt kāsiyāt dan kāsiyāt ‘āriyāt: dikatakan telanjang tetapi kok sudah berpakaian, tetapi dikatakan berpakaian kok hampir semua permukaan tubuhnya tidak tertutup.

Dalam konteks hubungan suami istri juga harus menggunakan paradigma pakaian yang bukan hanya berfungsi sebagai perhiasan tetapi juga harus memenuhi kriteria menutupi aurat, dengan arti bahwa masing suami istri juga harus menutupi kekurangan dan keterbatasan pasangannya.

Kekurangan, keterbatasan dan bahkan perilaku-perilaku yang terindikasi tidak baik harus menjadi rahasia bagi masing-masing suami istri dan jangan sampai terekspose keluar pintu rumah tangga. Karena pada prinsipnya ada keharusan bagi seseorang muslim untuk menutupi kekuarangan dan aib sesama muslim lainnya, dan Allah akan mengapresiasi dengan perlakuan yang sama di akhirat kelak bahkan ditutupi dari siksa neraka.

Apalagi sesama pasangan yang cara menyatukan keduanya melalui perjanjian yang berat [mitsāqan ghalīdhān] maka harus lebih kuat lagi dalam menutupi dan menyembunyikan kekurangan pasangannya.

Kalau memahami kewajiban dan hak suami istri dengan perspektif fungsi pakaian pada ayat di atas, maka karakter inilah yang disebut dengan al-hāfidzīna furūjahum wa al-hāfidzāt (Q.S. al-Ahzab [33]: 35); pasangan yang menjaga aurat dan kemaluannya supaya tidak menjadi penyebab orang lain melakukan dosa.

Dan lebih spesifik lagi juga disebutkan di Q.S. al-Nisa [4]: 34: hāfidzāt li al-ghaybi bi mā hafidza Allāh. Sementara dalam konteks ayat ini disebutkan bahwa istri yang sholehah adalah wanita yang taat beragama dan mampu menjaga diri dan rumahnya ketika suami sedang bertugas di luar dengan tetap menjaga rumahnya sebagai wilayah yang sangat pribadi di mana dalam kondisi semacam ini, istri yang sedang menjaga kehormatan dapat mengatakan: inna buyūtanā áurah (sesungguhnya rumahku auratku).

Pasangan yang bisa berperan menjadi pakaian yang yuwari sauatikum bagi pasangannya sebenarnya telah memiliki kekuatan internal dalam mengendalikan potensi negatif yang ditimbulkan oleh mulut dan kemaluannya.

Karena seseorang yang tidak mampu mengendalikan lisannya akan sangat mudah untuk menyebarkan kekurangan saudaranya termasuk suami atau istrinya. Sedangkan seseorang yang tidak mampu mengendalikan syahwatnya, maka syahwatnya akan mengendalikan hidupnya dan menghilangkan rasa malunya bahkan bangga mempertontonkan auratnya.

[Uzn|Ard]