Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag
Infodakwah- Dari hasil penelusuran hadits yang derajatnya maqbūlah dan dapat dipergunakan sebagai landasan hukum yang diterima, rasulullah s.a.w tidak pernah menyatakan secara khusus bahwa fungsi puasa itu menyehatkan badan meskipun secara medis diakui bahwa pada tingkatan tertentu puasa sangat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan jasmani kita.
Hal semacam ini yang harus menjadi pijakan kita dalam pelaksanaan semua bentuk ibadah dengan ikhlas. Melaksanakan ibadah bukan karena dugaan adanya hikmah dan manfaat yang bersifat materi baik berupa sehat jasmani dan lancar rezeki misalnya, tetapi ibadah tetap harus dilaksanakan meskipun kita tidak mengetahui hikmah dan manfaatnya.
Karena pada prinsipnya semua bentuk ibadah yang disyaritkan itu lebih banyak memiliki pengaruh yang bernilai rohani dalam meningkatkan kematangan spiritualitas dan kedewasaan jiwa (al-rusyd) dari pada sekedar bersifat materialistik kenikmatan duniawi dalam bentuk kemapanan hidup, kelancaran urusan rezeki dan ketercukupan kebutuhan sehari-hari.
Kita sering memahami dan melihat ayat-ayat al-Quran dari kaca mata seorang kapitalis, sehingga ketika melakukan ibadah sosial dalam bentuk berbagi kebaikan melalui zakat infak misalnya, yang dibayangkan adalah baliknya modal dengan tambahan sepuluh kali lipat keuntungan.
Hal ini disebabkan oleh ketidakpasrahan kita dalam beribadah karena memahami ayat yang menyatakan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat kebaikan dengan pemahaman yang tekstual dan tendensius, dan begitu pula ketika seseorang memahami sebuah ayat yang menjanjikan datangnya solusi dan rizki yang tidak disangka-sangka sebagai imbalan atas ibadah dan ketakwaannya, sering dipahami identik dengan rizki dalam bentuk keterlimpahan materi dan keterpenuhan kebutuhan hidup.
Sebagaimana perilaku beberapa orang yang membaca Quran surat al-Waqi’ah pada malam hari dengan tujuan besok hari dagangannya laris. Padahal rizki yang dijanjikan dalam firman-Nya (wa yarzuqhu min haytsu lā yahtasib) tersebut lebih banyak bersifat rūhiyyah īmāniyyah dan dimensi spiritual.
Seseorang tidak dibebani untuk menentukan kadar kepemilikan materi duniawi karena dunia itu milik Allah dan semuanya dari Allah. Kita juga tidak dibebani untuk memastikan kenyamanan dan kemapanan masa depan, karena penentuan masa depan semua makhluk ada di tangan Allah.
Tetapi yang dibebankan kepada kita sebagai hamba Allah hanyalah satu, yaitu memastikan dengan baik bahwa Allah meridloi kehidupan kita. Dan harus diyakini bahwa ketika Allah sudah ridlo dan senang dengan kita, maka Allah tidak akan pernah membiarkan kita hidup dalam keadaan susah, pasti Allah akan memberikan kita kecukupan dan memenuhi semua kebutuhan dengan takaran dan dimensi yang dikehendaki baik oleh Allah.
Bisa jadi tidak dalam bentuk materi kehartabendaan tetapi kemudahan melaksanakan ibadah, hati yang berkualitas untuk selalu bersyukur dan mudah tersentuh dalam berempati dan berbagi adalah beberapa bentuk rizki yang tidak bisa dinilai dengan materi.
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa barang siapa yang memahami bahwa nikmat dan rizki Allah hanya dalam bentuk ketersediaan makan dan minum saja maka sejatinya dia telah kehilangan akal sehatnya dan hatinya telah mati.
[Uzn | Ard]