Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah rawan bencana, mulai dari letusan Gunung berapi, banjir, tanah longsor, tsunami, banjir rob, dan lain sebagainya. Semuanya berpotensi besar terjadi di negara republik tercinta ini.
Untuk itu, langkah awal dengan memanfaatkan peran teknologi guna melakukan identifikasi dini peringatan bencana merupakan tindakan yang sangat diperlukan guna mengantisipasi terjadinya efek kerugian yang besar, utamanya akibat hilangnya nyawa dan kerugian material lainnya. Namun, alokasikan dana sektor publik Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) atau Negara (APBN) sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana terkadang juga dianggap sebagai hal yang tidak efektif mengingat bencana itu datang kapan saja, tanpa bisa diprediksi. Beberapa shelter yang dibangun di sejumlah daerah sebagai tempat evakuasi bila mana tsunami atau gempa terjadi, terkadang justru dianggap sebagai bangunan kosong tanpa fungsi. Akibatnya, segelintir manusia merusaknya dan mengambil beberapa perangkat yang disiapkan di tempat tersebut. Padahal, keberadaan alat itu adalah bersifat vital, khususnya saat bencana benar-benar terjadi. Dua fenomena di atas, acap menjadi bahan pertimbangan dasar bagi pemerintah. Seolah, pemerintah yang memperhatikan fungsi bagi peran mitigasi ini harus siap untuk tidak populis di mata masyarakat. Akan tetapi, kebijakan itu harus tetap diambil karena cepat atau lambat bencana itu pasti datang menerjang apa saja, tanpa ampun dan tidak bisa diprediksi sebelumnya. Sebagaimana kaidah:
إذا تعارض مفسدتان رُوعي أعظمُهما ضررًا بارتكاب أخفهما
Artinya, “Apabila ada dua mafsadat bertentangan, maka yang harus ditinggalkan adalah mafsadat yang mudharatnya lebih besar, dengan melakukan mudharat yang lebih ringan.”
Karena Indonesia adalah daerah rawan bencana, maka antara ketidakpopulisan seorang pemimpin (politik) dan kebutuhan mitigasi bencana, bahayanya tentu lebih besar bila kebutuhan mitigasi itu tidak terpenuhi. Untuk itu hal ini perlu mendapatkan penekanan bantuan dan perhatian secara khusus dibanding lainnya. Sebagaimana semangat hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
ما من أمير يلي أمور المسلمين ثم لم يجهد لهم وينصح لهم كنصحه وجهده لنفسه إلا لم يدخل معهم الجنة
Artinya, “Tiada seorang pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, lalu ia tidak berusaha keras untuk kemaslahatan urusan yang dipimpinnya, dan tidak memberikan intruksi kebaikan kepada mereka sebagaimana kebaikan bagi dirinya sendiri serta usahanya, melainkan ia tidak akan masuk ke dalam surga bersama-sama yang dipimpinnya,” (HR At-Thabrany).
Kita bisa berkaca pada kejadian Tsunami Aceh tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu masyarakat di wilayah pesisir Aceh dan Sumatera Utara. Semua ini adalah akibat kebutuhan mitigasi saat itu belum banyak dipahami. Upaya mendirikan teknologi peringatan dini tsunami belum sepenuhnya dipahami.
Demikian juga dengan upaya melakukan pendidikan sadar bencana bagi masyarakat rawan terdampak bencana, tidak sepenuhnya mendapatkan perhatian dari pemerintah kala itu. Sebagai akibatnya, korban nyawa banyak terjadi. Belum lagi dengan korban material dan moral. Syariat Islam mengajarkan, dalam rangka proses mitigasi bencana, orientasi yang pertama yang hendaknya diselamatkan oleh pemerintah adalah lima aspek penjagaan pokok maqashidus syari’ah. Di antara kelima penjagaan itu, antara lain adalah hifzhul mal (harta), hifzhud din (agama), hifzhun nafs (jiwa), hifzhul ’aql (akal) dan hifzhul ’irdhi (kehormatan). Dalam situasi bencana, kelima aspek ini mutlak mendapatkan perhatian secara khusus dengan memperhatikan intensitas dampak bencana yang terjadi dan kecenderungan untuk rawan terjadi. Semua ini dilakukan atas dasar upaya perwujudan kemaslahatan yang dimulai dari hal yang lebih dekat, lebih ringan, dan lebih maslahah. Doktor Syekh Ahmad Dasuqy, salah seorang tenaga pengajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, menyampaikan:
إن هذه القاعدة توضــح أساسا مهما من أسس إدارة الأمة ورعاية مصالحها العامة والخاصة فتفيد أن أعمـال الولاة وتصــرفاتهم يجب ان تبنى على مصلحة الأمة وتحقيق الخير لها
Artinya, “Sungguh kaidah ‘mewujudkan kemaslahatan lewat penjagaan lima aspek’ ini secara tidak langsung menjadi sebuah asas penting dari kesekian landasan gerak para pemegang kebijakan dan tata aturan mewujudkan kemaslahatan umum bahkan khusus rakyat. Oleh karenanya, berdasar kaidah ini, tugas dan fungsi pokok manajemen kepemimpinan dan aplikasinya di masyarakat adalah harus senantiasa mengarusutamakan terwujudnya kemaslahatan itu (melalui penjagaan kelima aspek tujuan pokok syariat) dan tercapainya kemakmuran bagi rakyat.”
Penjagaan Jiwa Aspek penjagaan jiwa merupakan aspek yang menduduki peringkat pertama dalam mitigasi bencana. Bagaimana tidak? Infrastruktur bisa dibangun untuk kebutuhan memudahkan setiap individu memenuhi kebutuhannya. Bila jiwa tidak terlindungi, maka sia-sia pula infrastruktur itu dibangun dan didirikan sebagaimana kaidah:
إذا تزاحمت المفاسد، واضطر إلى فعل أحدها، قدم الأخف منها
Artinya, “Jika ada banyak mafsadat berkumpul, dan terpaksa harus melakukan salah satunya, maka yang didahulukan sebagai pilihan adalah mafsadat yang paling ringan.”
Mafsadat yang paling ringan adalah kehilangan materi dan harta benda. Sementara mafsadat yang paling besar adalah kehilangan jiwa. Untuk itu penjagaan jiwa merupakan yang perlu diutamakan. Ibarat pepatah, “materi bisa dicari, tapi jika nyawa melayang, ke mana hendak dicari?” Dalam wilayah praktisnya, upaya penjagaan jiwa ini mutlak dilakukan tergantung pada potensi bencana yang terjadi sebagaimana kaidah:
الضرورة تقدر بقدرها بأن تكون بقدر الحاجة دون زيادة عليها
Artinya, “Kadar bahaya senantiasa dinyatakan dalam keterukuran, misalnya dinyatakan menurut kadar kebutuhan, dan tidak lebih dari itu.” (Fi Rihabit Tafdir, juz I, halaman 303).
Misalnya, untuk wilayah pesisir yang merupakan wilayah mayoritas dari negara Indonesia, pemerintah sudah seharusnya mendirikan shelter (tempat penampungan) seiring potensi terjadi bencana tsunami di sebagian besar wilayah tersebut. Tentu pendirian ini tidak boleh mengabaikan pertimbangan aspek kemudahan penyaluran bantuan dan akses komunikasi lainnya. Pemerintah setidaknya harus disiapkan beberapa perangkat kebutuhan pokok di dalam shelter itu, seperti sumber air bersih, tempat masak, ruang pengobatan, dan sumber daya penerangan/listrik lainnya yang bisa difungsikan. Setidaknya, shelter ini harus bisa berfungsi dan menjamin kebutuhan primer jiwa yang berhasil diselamatkan dalam kurun beberapa waktu lamanya, selagi suatu bencana datang melanda. Penjagaan Harta Tidak selamanya shelter memang bisa menampung ribuan penduduk yang tinggal di sekitar lokasi bencana. Untuk itu, diperlukan langkah lain penjagaan, khususnya mengantisipasi kerugian yang lebih besar lagi, berupa kehilangan materi. Upaya penjagaan materi sudah barang tentu tidak dilakukan dengan jalan mengusung materi milik masyarakat, melainkan menyiapkan tanda peringatan dini terhadap bencana, termasuk kemudahan akses informasi berkaitan dengan informasi bencana. BMKG (Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika) sepertinya sudah menyiapkan akan hal itu melalui beberapa akses media sosial dalam memberikan laporan potensi. Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Gunung Berapi (PVMBG) juga mengikuti langkah yang sama dengan BMKG dalam rangka memberikan kesigapan informasi mengenai potensi bencana akibat letusan gunung berapi. Ini semua masih dalam batas mitigasi prabencana terjadi. Dalam situasi bencana, terkadang upaya penjagaan harta milik korban bencana, tidak hanya diperlukan pada langkah prabencana, melainkan juga langkah pascabencana. Misalnya, menjaga keselamatan harta para korban bencana agar tidak diambil/dirampok oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini juga merupakan bagian dari mitigasi bencana guna mengantisipasi semakin besarnya kerugian material.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/115757/tanggung-jawab-pemerintah-atas-mitigasi-bencana