Minggu, April 20, 2025
BerandaFokusMatematika Keterwakilan Perempuan di Teuku Umar

Matematika Keterwakilan Perempuan di Teuku Umar

Oleh: Afita Nur Hayati

(Bekerja di Kampus UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Kalimantan Timur Periode 2022-2027)

Hasil pemilihan umum secara serentak pada 14 Februari 2024 sudah terlihat.  Anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD sudah dilantik dan bersumpah sesuai agama dan keyakinan masing-masing.  Itu artinya semua wakil rakyat siap bekerja dan masyarakat sudah menantikan apa saja program-program pembangunan yang akan menjadi prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Hal ini juga tak terkecuali pada wakil rakyat di propinsi Kalimantan Timur.  Propinsi dengan Ibukota Negara Nusantara (IKN) ada di dalamnya dan menjadi miniatur Indonesia karena keragaman suku penyusunnya. 

Dari data Biro Pusat Statistik Kalimantan Timur terlihat bahwa para wakil rakyat yang terpilih telah dipilih oleh jumlah pemilih laki-laki sebesar 51,9 persen dan pemilih perempuan sebesar 48,1 persen.  Prosentasenya hanya terpaut 3,8 persen komposisi antara jumlah pemilih laki-laki dan jumlah pemilih perempuan.  Pemilih terbanyak ada pada generasi Z urutan selanjutnya generasi Y, dan generasi X selebihnya menjadi milik generasi baby boomer dan the builders.

Prosentase Politik Kehadiran

Dari laman dprd.kaltimprov.go.id menyebutkan dari total 55 anggota legislatif periode 2024-2029 terdapat 23 orang anggota lama yang kembali dilantik dan 32 orang anggota baru.  Sebagai pembeda visual, mari kita coba untuk melihat berapa orang yang memakai jas dan berapa orang yang mengenakan kebaya.  Jika menggunakan komposisi secara jenis kelamin ternyata hasilnya anggota dewan perempuan berjumlah sekitar 16,5 persen.  Ini tentu saja menjadi pertanyaan kalau kita kembali kepada jumlah pemilih yang secara prosentase tidak banyak selisihnya tetapi secara keterwakilan begitu jauh jarak penjumlahannya. Sementara secara aturan Komisi Pemilihan Umum telah menyebut jika syarat untuk mengajukan calon, partai politik harus memastikan komposisi keterwakilan perempuan 30 persen dalam pencalonan. 

Kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sudah mulai ada di tahun 2004, dan ternyata sampai dengan 20 tahun kemudian belum bisa menunjukkan bukti konkrit kenaikan tingkat keterpilihan perempuan di parlemen. Ini terekam dalam buku saku pendidikan pemilih cerdas dan bermartabat yang disusun oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah Pimpinan Pusat Aisyiyah dan Program Inklusi Aisyiyah tahun 2024 dengan data di tahun 2009-2014 ada 103 orang anggota DPR perempuan. Sedangkan pada periode 2014-2019 jumlah keterwakilan perempuan turun menjadi 97 orang atau hanya sekitar 17,32 persen.

Di tiga kabupaten-kota di Kaltim dengan pemilih terbanyak yaitu Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara saja lebih dari 30 jumlah kursi keterwakilan, perempuan yang akan berkontribusi selama masa bakti lima tahun hanya terlihat dua orang.  Tentu beban yang harus mereka tanggung menjadi lebih berat.  Berusaha meyakinkan kolega, melakukan lobi, melakukan negosiasi bahwa perempuan masih harus menjadi prioritas dalam pembangunan Kaltim selama lima tahun ke depan.

Siapa yang harus berperan?

Melalui laman bappeda.kaltimprov.go.id, pemerintah Propinsi Kaltim menyebutkan salah satu tujuan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2024 adalah mewujudkan sumber daya manusia yang berdaya saing yang salah satu sasarannya adalah meningkatnya daya saing perempuan.  Indikatornya bisa dilihat dari prosentase perempuan yang mengenyam pendidikan dasar dan menengah sampai ke pendidikan tinggi.  Jika secara jumlah wakil rakyat perempuan saja masih kurang dari 30 persen, kira-kira siapa yang akan mengawal prosentasenya? Naik? Turun? Atau stagnan? Kira-kira kepada siapa perempuan di seluruh wilayah Kaltim berharap suaranya, aspirasinya, kebutuhannya akan didengar? Untuk kemudian ditindaklanjuti, diajak berdiskusi, dan menjadi prioritas dalam sebuah kebijakan. 

Tentu keterwakilan substantif akhirnya yang berbicara, yaitu kepada wakil rakyat laki-laki yang memiliki perspektif bahwa pembangunan dilakukan oleh kerja sama laki-laki dan perempuan untuk rakyat laki-laki dan perempuan. Bahwa tidak hanya perempuan yang mengerti persoalan perempuan dan lebih memahami perempuan.  Yang masih menjadi pertanyaan adalah kemana esensi keterwakilan deskriptif? kenapa perempuan belum banyak yang memilih perempuan? Sebegitu belum percayanya kah perempuan untuk mempercayakan suaranya kepada sesama perempuan? Sebegitu masih kuat mengakarnya kah berada di depan publik, berorasi, membangun reputasi adalah wilayah laki-laki? Mari sebagai bagian dari masyarakat Kaltim kita kawal kiprah para anggota DPRD periode 2024-2029 yang tentunya akan bersinergi dengan pemerintah Propinsi Kaltim dalam menuntaskan banyak catatan pembangunan yang sampai sekarang memerlukan energi untuk dicapai dan diselesaikan dengan baik.

**Opini ini sepenuh menjadi bagian dari tanggungjawab penulis.

RELATED ARTICLES

Most Popular