Mentalitas Ramaja di Era Disrupsi Teknologi

Eko Priyo Agus Nugroho, S.Pd.I (Wakil Ketua. Bid. Dakwah PDPM Kab. Sleman Anggota MPK SDI PWM DIY). (Infokaltim.id/Ist).

Oleh: Eko Priyo Agus Nugroho, S.Pd.I (Wakil Ketua. Bid. Dakwah PDPM Kab. Sleman
Anggota MPK SDI PWM DIY)

DI AWAL tahun 2020, banyak yang mengatakan kita hidup di era disrupsi teknologi. Karena banyak yang melihat di tahun 2020 banyak hal baru yang akan lahir dan terjadi, yang biasanya membawa perubahan besar dan berhubungan dengan teknologi. Disrupsi teknologi diartikan sebagai perubahan mendasar akibat berkembangnya sistem teknologi digital, dimana teknologi digital atau robot mulai menggantikan dan mengubah peran dan peran kerja manusia.

Kehadiran teknologi digital telah menyebabkan berbagai perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, serta perubahan sistem yang ada di Indonesia maupun di seluruh dunia.

Perkembangan teknologi saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perubahan di era revolusi industry 4.0 ditandai dengan semakin banyaknya penggunaan Internet of Thing (IoT). Ditambah dengan adanya Covid-19 beberapa tahun yang lalu berdampak pada masyarakat dipaksa untuk semua menggunakan internet.

Dilansir dari Hootsuite: We Are Social, pada bulan Januari 2022, pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta orang, yang mencakup 73,7% dari total populasi penduduk Indonesia. Teknologi informasi berbasis internet sebagai katalisator era revolusi industri 4.0 banyak mempengaruhi pola aktivitas dan interaksi manusia.

Dengan berkembangnya teknologi informasi membawa dampak yang positif bagi umat manusia, akan tetapi ada dampak lain yang melekat pada era revolusi industri 4.0.

Dengan adanya teknologi membuat perkembangan remaja menjadi berubah dimana perilaku siswa di kehidupannya menjadi serba online. Dibuktikan dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan media sosial antara siswa berkepribadian introverti dan ekstrovert; perilaku game online berpengaruh terhadap interaksi sosial siswa, efikasi diri akademik dan keterampilan sosial.

Era disrupsi telah merubah pola pergaulan remaja yang cenderung terpengaruh oleh media sosial.

Generasi muda Indonesia perlahan mulai meninggalkan karakter bangsanya. Bahkan, ia menilai karakter generasi muda saat ini sangat bergantung pada trend yang beredar melalui digital termasuk media sosial. Tantangan bangsa Indonesia cukup berat kedepannya. Dengan berbagai kasus yang terjadi ditengah masyarakat, menampakkan bahwa negeri ini karakter kebangsaannya mulai terancam.

Berbagai kasus misalnya kekerasan, pornografi, kemiskinan, minimnya ketahanan keluarga, korupsi dan bahkan narkoba. . Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat sejak tahun 2017 ada sebanyak 22 laporan masalah, 46 yang terlibat masalah kecanduan dan penyalahgunaan narkoba.

Anak-anak yang terlibat masalah hukum diusia dibawah 18 tahun sebanyak 87 orang, serta terdapat 1,6 juta anak yang menjadi pengedar narkoba. Kemenkes RI mempunyai data remaja usia 15-17 tahun sudah berpacaran dan 33% diusia dibawah 15 tahun. Fenomena LGBT juga mulai menjadi tren dikalangan remaja dan seks bebas menjadi fenomena yang meradang bahkan wajar. Berdasarkan data Indonesian Police Watch (IPW) pada Januari 2018 sebanyak 54 bayi dibuang di Indonesia dan angkanya dua kali lipat lebih banyak jika dibandingkan tahun 2017. Sepanjang tahun 2017 ada sebanyak 179 kasus bayi ditelantarkan atau dibuang, 79 bayi tewas terdapat 10 yang masih dalam bentuk janin dan sisanya 89 bayi berhasil diselamatkan.

Kemajuan teknologi membuat generasi muda menjadi cerdas secara kognitif namun lemah secara afektif. Hal ini terlihat pada perilaku dikesehariannya masih ada membully, menghina secara terang-terangan dimedia sosial, perilaku kekerasan, hingga karakter seksual menyimpang tidak ada lagi hal yang tabu bahkan dengan bangganya diperlihatkan di media sosial. Tanpa disadari gadget dan media sosial membuat banyak generasi-generasi penggunanya menjadi manusia yang manipulatif yang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Di tengah munculnya dampak-dampak negatif dari kemajuan teknologi tersebut, solusi pendidikan yang berkarakter kebangsaan dan dibentengi dengan keyakinan pada nilai-nilai norma ketuhanan (agama) dan sosial harus ditegakkan biarpun tidaklah mudah dilakukan akan tetapi harus tetap dilakukan dan diawali dari lingkup yang kecil yaitu keluarga. Penguatan karakter kebangsaan dan akhlak yang baik sejak dini. Jangan sampai kemajuan teknologi handphone pinta tapi manusia bodoh (smart-phone, dump-people)

Untuk menghadapi era disrupsi ini remaja harus memiliki mental dan spiritual yang kuat. Landasan ilmu dan iman menjadi hal yang pokok untuk bekal remaja saat ini dan harus bisa mengimbangi dengan kemajuan teknologi saat ini. Remaja dibina sesuaikan dengan zamannya tidak bisa hanya sekedar ceramah tapi bisa dengan keteladanan, kebiasaan, nasihat, perhatian dan juga hukuman.

Kesehatan mental (mental health) remaja menjadi perhatian yang sangat penting, Kesehatan Mental merupakan keadaan psikologis seseorang yang ditandai dengan kemampuan mengelola emosi dan pikiran, mengembangkan potensi diri, berinteraksi dengan orang lain secara konstruktif, bekerja (belajar) secara produktif, dan berkontribusi bagi kesejahteraan bersama.

Sedangkan dalam perspektif psikologi positif, kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyenangi kehidupan, melakukan berbagai aktivitas secara seimbang, dan berusaha untuk mencapai resiliensi psikologis. World Federation for Mental Health, pada tahun 1948 dalam konverensinya di London mengemukakan bahwa sehat mental adalah suatu kondisi yang optimal pada aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dan aspek emosional yang cukup mantap dan stabil, sehingga perilakunya tidak mudah tergoncang olah situasi yang berubah di lingkungannya, tidak sekedar bebas atau tidak adanya gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungannya.

Untuk menjaga kesehatan mental dapat dilakukan dengan pendekatan spiritual. Yang perlu dilakukan untuk menjaga supaya mental tetap sehat dengan pendidikan Islam untuk kalangan remaja. Pendidikan Islam ini diharapkan mampu membentuk remaja yang mempunyai tujuan hidup yang lebih jelas, sehingga tindakan yang akan dilakukan bersifat efisien. Tujuan yang jelas tersebut dapat terealisasi ketika seorang remaja benar-benar memahami tujuan dari proses pendidikan Islam.

Gambaran sikap mental remaja Islam terletak pada aktualisasi kesehatan mental remaja tersebut pada kemampuannya dalam mengendalikan potensi (fitrah), dengan ciri remaja tersebut mampu menghadapi tantangan hidup, dapat beradaptasi, dan mampu menyelesaikan permasalahan baik dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan dimana ia tinggal dengan baik, menurut syariat agama yang telah ditentukan.

Beberapa hal yang bisa diperhatikan dan diterapkan dalam menjaga kesehatan mental remaja melalui pendidikan Islam, diantaranya adalah menanamkan nilai-nilai keimanan kepada remaja agar sadar akan hakikatnya sebagai ciptaan Allah, menanamkan kesadaran untuk senantiasa melaksanakan ibadah, menanamkan sikap syukur kepada remaja, dan menanamkan sikap yang positif.

  1. Menanamkan Nilai-Nilai Keimanan kepada Remaja Agar Sadar akan Hakikatnya sebagai Ciptaan Allah. Dengan tingginya tingkat keimanan kepada Allah manusia akan memiliki rasa ketergantungan kepada Allah karena sadar bahwa dirinya hanyalah hamba dan makhluk lemah. Maka dengan kedekatan itu maka manusia akan merasa tenang dan tentram hatinya.

Ketenangan dan ketentraman inilah yang akan mengantar manusia pada mental yang sehat. Hakikat ketentraman jiwa terletak pada sejauh mana seseorang dekat kepada Tuhan serta banyaknya ibadah yang dilakukan oleh seseorang. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah Allah, hanya dengan mengingat-Nya hati menajdi tentram”
(QS. Ar-Ra’d: 28).

  1. Menanamkan Kesadaran untuk Senantiasa Melaksanakan Ibadah.
    Pelaksanaan ibadah dalam konteks agama Islam seperti shalat berjamaah, berdzikir, membaca Al-Qur’an, yang biasanya dilaksanakan di tempat ibadah seperti masjid, mushola dan surau. Termasuk ibadah yang dilakukan melalui kegiatan muamalat atau sosial. Dengan melaksanakan ibadah keislaman tersebut, mampu meningkatkan kesehatan mental anak dan remaja, khususnya membentuk kecerdasan sosial dengan lingkungan mereka. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Qs. Az Zariat: 56)
  2. Menanamkan Sikap Syukur
    Perasaan syukur akan mendorong seseorang untuk menyadari dan mengakui bahwa segala hal yang terjadi di dalam kehidupan adalah rahmat yang didatangkan oleh Allah. Dengan ini kesadaran spiritual individu akan meningkat sehingga akan membantu seseorang dalam menjaga perasaan dan pemikiran yang positif. Jiwa yang positif inilah yang mampu melindungi seseorang dari gangguan mental.
    Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
    (Qs. Ibrahim: 7)
  3. Menanamkan Sikap yang Positif
    Penanaman konsep diri positif ini menjadi cara untuk menjaga kesehatan mental, konsep diri positif meliputi positive thinking, positive feeling, positive speaking, positive acting.
    “Sesungguhnya Allah berkata : Aku sesuai prasangka hambaku padaku. Jika prasangka itu baik, maka kebaikan baginya. Dan apabila prasangka itu buruk, maka keburukan baginya.” (HR. Muslim no. 4849)
    Perkembangan teknologi yang semakin maju harus diimbangi dengan kesehatan mental yang baik. Karena dengan mentak yang sehat akan jauh lebih siap menghadapi perubahan zaman. Hanya dengan berharap kepada Allah ‘azza wajalla memohon petunjuk supaya tetap berada dijalan yang di ridhai Allah ‘azza wajalla. Dan semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita di dunia sampai diakhirat nanti. Aamiin yaa rabb.

**Opini ini merupakan bagian dari tanggungjawab penulis.