Urgensi Pendidikan Anak Jalanan di Kota Samarinda

Oleh : Adi Faizal M. Songge (Kabid PSDM Senat Fakultas Hukum Untag Samarinda

Kesejahteraan suatu daerah dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan salah satunya adalah pendidikan, begitu pun dengan mengukur masa depan suatu bangsa dari seberapa meratanya pendidikan yang dapat dinikmati oleh sebagian anak bangsa. Terlahirnya seorang anak sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan lainnya, senantiasa dijaga dan dilindungi dengan alasan bahwa dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi, sebab anak adalah masa depan dan regenerasi pemimpin bangsa selanjutnya.

Maka anak harusnya menjadi fokus utama bagi pemerintah dan masyarakat agar mendapatkan pendidikan secara merata tanpa terkecuali. Begitu pula dengan fenomena anak jalanan, yang sampai hari ini keberadaanya semakin hari terbilang meningkat di Kota Samarinda. Survei yang dilakukan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda menerangkan ada 7 dari 10 anak jalanan yang ada di Kota Samarinda tidak melaksanakan wajib belajar 9 tahun dan 4 dari 10 tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menjadi anak jalanan bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh setiap orang, namun disebabkan adanya sebuah tuntutan hidup dan keterpaksaan keluarga untuk tetap dapat melanjutkan hidup, serta kurangnya pemahaman yang didapatkan terkait pentingnya sebuah pendidikan dibandindingkan sebuah materi.

Dalam konstitusi pada pasal 28 C (1) dan pasal 28 E UUD 1945 mengatur tentang Pendidikan sebagi suatu hak yang harus didapatkan oleh setiap insan. Demikian pula dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UUPA), dinyatakan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pasal ini menjadi landasan mutlak bagi pemenuhan hak pendidikan anak tersebut, demikian pula pada bagian ketiga, Pasal 48 UUPA jelas dikatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak, serta Pasal 49 yang menegaskan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pengaturan ini secara nyata menunjukkan bahwa kewajiban suatu pemerintah daerah dan pusat untuk memenuhi hak anak, termasuk anak jalanan untuk memperoleh pendidikan tanpa harus melihat apakah pendidikan dimaksud harus didapatkan melalui jalur formal ataupun non-formal serta merupakan tanggungawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketentuan ini lebih diperjelas lagi dalam Pasal 50 yang menyatakan bahwa pendidikan anak hendaknya tidak terbatas pada pendidikan formal akademik semata, tetapi mencakup pendidikan mental dan spiritual disegala bidang agar mereka kelak siap menghadapi masa depan yang penuh dengan persaingan global.

Pada 2017 lalu, Pemerintah Kota Samarinda telah mengesahkan perda No. 7 Tahun 2017 tentang Anak Jalanan dan Gepeng, dalam perda tersebut diatur terkait larangan pada anak jalanan dan dan denda yang akan diberikan kepada masyarakat yang memberikan bantuan kepada anak jalanan dan gepeng. Namun sampai saat ini permasalahan anak jalanan di Kota Samarinda tidak menemukan titik cerah, bahkan telah bergantinya kepemimpinan Walikota pada setiap periodeisasi, tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sementara puncak dari permasalahan ekonomi, sosial dan budaya yang ada di Kota Samarinda adalah salah satu masalah pendidikan yang tidak merata.

Jika melihat penjelasan pada amanat konstitusi diatas yang mengatur tentang hak pendidikan dan kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam merealisasikannya. Maka harusnya permasalahan pendidikan dan anak jalanan menjadi fokusan dalam 100 hari kerja kepemimpinan baru Walikota dan Wakil Walikota Samarinda, bukan hanya tentang persoalan penertiban PKL, lahan parkir dan penanggulangan banjir.

Larangan terkait denda yang akan diberikan pada anak jalanan dan pada mereka yang memberikan uang serta penyediaan wadah rehabilitasi dalam upaya mensosialisasikan dan memberikan edukasi kepada anak jalanan terasa kurang maksimal dikarenakan kurangnya penindakan dilapangan pada program dan Perda tersebut. Pemerintah Kota Samarinda seharus nya lebih sering menjemput bola ketimbang menunggu. Sebab membiarkan dan acuh terhadap anak jalanan sama halnya membiarkan nasib Kota Samarinda di masa mendatang semakin suram akibat pendidikan pada anak tidak disiapkan sedini mungkin oleh pihak pemerintah daerah.

Opini ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis