Problematika yang Dihadapi Guru Pendidikan Agama di Sekolah atau Madrasah

Oleh : Irmayanti (202210290211007) Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Pendahuluan

Problematika Pendidikan Islam sebagaimana halnya pendidikan lainnya merupakan persoalan besar yang senantiasa berada dalam proses dan tidak akan pernah mencapai titik akhir. Oleh karena itu debat akademik mengenai pendidikan Islam tidak akan pernah selesai dan tidak mungkin dielakkan.

Komponen-komponen pembentuk sistem pendidikan Islam adalah tujuan, pendidik (guru), peserta didik, materi, metode dan evaluasi. Guru merupakan salah satu komponen manusiawi yang memiliki peranan besar dalam membentuk sumber daya manusia, karena berperan sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing yang mengarahkan sekaligus menuntun siswa dalam belajar (Minarti, 2013: 107).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen BAB IV Pasal 8 menegaskan bahwa, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 10 ayat 1 menegaskan bahwa, kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Persepsi guru di era modern ini rupanya sudah mulai goyang dan rapuh. Hal ini teridentifikasi dari beberapa persepsi dan fakta di lapangan. Guru di era ini tidak banyak lagi yang mempersepsikan dirinya sebagai pengemban amanat yang suci dan mulia, mengembangkan nilai-nilai multipotensi anak didik, tetapi mempersepsikan dirinya sebagai seorang petugas semata yang mendapatkan gaji baik dari negara, maupun organisasi swasta dan mempunyai tanggung jawab tertentu yang harus dilaksanakan. Bahkan kadang-kadang muncul sifat egoisme bahwa ketika seorang guru akan melakukan tugasnya termotivasi oleh sifat yang materialis dan pragmatis yang tidak lagi termotivasi oleh rasa keikhlasan panggilan mengembangkan fitrahnya dan fitrah anak didiknya. Selain itu, guru kurang lagi memosisikan dirinya sebagai seorang figur teladan yang perlu ditiru. Ditiru atau tidak, yang jelas ia sudah melaksanakan tugas transfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya (Suwito, 2005: 4-5).

Oleh karena itu, profesi guru pada saat ini masih banyak dibicarakan orang atau masih saja dipertanyakan orang, baik di kalangan para pakar pendidikan maupun di luar pakar pendidikan. Bahkan selama dasawarsa terakhir ini hampir setiap hari, media massa khususnya media massa cetak baik harian maupun mingguan memuat berita tentang guru. Ironisnya, beritaberita tersebut banyak yang cenderung melecehkan posisi guru, baik yang sifatnya menyangkut kepentingan umum sampai kepada hal-hal yang sifatnya sangat pribadi, sedangkan dari pihak guru sendiri nyaris tak mampu membela diri.

Guru di era modern sekarang ini dalam menjalankan tugasnya lebih banyak menyentuh aspek kecerdasan aqliyah (aspek kognitif) dan kecerdasan jasadiyah (aspek psikomotorik) dan kurang memperhatikan kecerdasan ruhiyah (aspek afektif). Hal ini terbukti dari produktivitas pendidikan yang banyak melahirkan siswa dan kesarjanaan cerdas dan terampil, tetapi masih banyak siswa yang tawuran, perkelahian, pemerkosaan dan lain sebagainya serta masih banyak juga sarjana berdasi yang korupsi, menindas dan maling hak rakyat. Terjadinya semua ini adalah salah satu indikator bahwa pendidikan yang didapatkannya itu belum lengkap. Walaupun ada yang berhasil tapi jumlahnya tidak banyak. Padahal Islam menuntut secara keseluruhan meskipun dengan bijak (Suwito, 2005: 5)

Pembahasan

Dalam konteks pendidikan islam “guru” sering disebut dengan kata-kata “murobbi, mu’allim, mudarris, mu’addib dan mursyid” yang dalam penggunaannya mempunyai tempat tersendiri sesuai dengan konteksnya dalam pendidikan. Yang kemudian dapat mengubah makna walaupun pada esensinya sama saja. Terkadang istilah guru disebut melalui gelarnya seperti istilah “al- ustadz dan asy-syaikh”.

Muhaimin sebagaimana yang dikutip oleh abdul Mujib telah memberikan rumusan yang tegas tentang pengertian istilah diatas dalam penggunaanya dengan menitikberatkan pada tugas prinsip yang harus dilakukan oleh seorang pendidik (guru). Untuk lebih jelasnya dibawah ini kami kutip secara utuh pendapat beliau dalam membedakan penggunaan istilah tersebut yaitu: Murobbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu untuk berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitar (lingkingannya) Mu’alim adalah orang-orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya didalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasinya (alamiah nyata). Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan atau keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan anak didiknya, memberantas kebodohan mereka serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Mu’addib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradapan yang berkualitas dimasa kini maupun masa yang akan datang.  Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi dirinya atau menjadi pusat anutan, suri tauladan dan konsultan bagi peserta didiknya dari semua aspeknya. Ustadz adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja yang baik, serta sikap yang countinious improvement (kemajuan yang berkesinambungan) dalam melakukan proses mendidik anak.[2]

Sementara itu Al-Ghazali, yang mempunyai pandangan yang berdeda dengan dengan kebanyakan dari para ahli filsafat pendidikan, beliau juga mengemukakan pendapatnya. Beliau memandang bahwa guru didalam mengajar dan memberikan pelajaran atau menyampaikan suatu ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, hendaklah dilakukan dengan hikmah, arif dan penuh bijaksana. Pada kahehatnya tujuan pendidikan yang penting adalah pembinaan keagamaan dan akhlak karimah. Bahkan membentuk moral yang tinggi dan akhlak mulia bagi anak didik dalam pandangan para ulama dan sarjana muslim yang dijadikan sebagai tujuan utama pendidikan, sehingga mereka berusaha menanamkan kedalam jiwa para penuntut ilmu, membiasakan mereka berpegang pada moral yang tinggi.

Hakekat guru menurut pandangan Al-Ghazali, dilihat dari segi misinya adalah orang yang mengajar dan mengajak anak didik untuk taqarrub pada allah dengan mengerjakan ilmu pengetahuan serta menjelaskan kebenaran pada manusia. Kedudukan manusia yang punya profesi sebagai guru seperti ini sejajar dengan Nabi, atau termasuk dalam tingkat nabi. Beliau sangat menganjurkan untuk gemar memberikan ilmunya kepada orang lain, jangan sampai ilmu hanya untuk dirinya sendiri.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas baik secara bahasa maupun istilah, penulis berpendapat bahwa guru pendidikan agama islam adalah seorang pendidik yang mengajarkan ajaran islam untuk mencapai keseimbangan jasmani maupun rohani untuk mengubah tingkah laku individu sesuai dengan ajaran islam dan membimbing anak didik kearah pencapaian kedewasaan serta membentuk kepribadian muslim yang berakhlak, sehingga terjadi keseimbangan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Tantangan yang dihadapi Guru PAI di Sekolah/Madrasah

Profesionalitas

Kata profesi masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris (profession) atau bahasa Belanda (professie). Kedua bahasa Barat ini menerima kata ini dari bahasa Latin. Dalam bahasa latin kata professio pengakuan atau pernyataan. Kata kerja untuk tidak mengaku atau tidak menyatakan ialah profiteri. Dan, apa yang telah dinyatakan atau diakui disebut professus. Sementara secara istilah, profesi dapat didefenisikan sebagai sebuah bidang pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dalam menjalaninya dan mendapatkan pengakuan dalam pekerjaan itu sendiri serta memiliki kode etik yang harus dijalani. Orang yang memiliki profesi disebut profesional.[3]

Menurut Muhtar Luthfi dari Universitas Riau (lihat Mimbar, 3,1984:44), seseorang memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria berikut ini. Profesi harus mengandung keahlian. Artinya, suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlianyang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus, profesi bukan diwarisi. Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban; sepenuh waktu maksudnya bukan part time. Profesi memiliki teori-teori baku secara universal. Artinya, profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal pegangannya itu diakui. Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya. Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh rekan-rekannya se-profesi. Profesi mempunyai kode etik, disebut kode etik profesi. Profesi harus memiliki klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.[4]

Guru sebagai sebuah profesi tentu menjadi keharusan untuk memiliki profesionalitas sehingga mampu mewujudkan tujuan pembelajaran dan tujuan pendidikan sebagaimana dalam Undang-Undang RI. 14 tahun 2005 dijelaskan bahwa “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Disamping itu, dalam undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bab IV pasal 8 berbunyi “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Kompetensi yang dimaksud pada pasal diatas diatur lebih lanjut dalam pasal 10 pasal 8 yaitu meliputi:

kompetensi pedagogic atau kemampuan bagi seorang pendidik dalam memahami kondisi anak didik, keahlian dalam mempersiapkan atau merancang pembelajaran, keterampilan dalam menyajikan pembelajaran sampai pada evaluasi hasil belajar.

kompetensi kepribadian atau keterampilan individual seorang pendidik dalam bertindak sehingga menjadi cerminan baik dan dapat dicontoh oleh peserta didik. Kepribadian yang baik tentu ditandai dengan perkataan dan perbuatan yang baik pula.

kompetensi social atau kemampuan seorang pendidik dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan peserta didik dan seluruh komponen masyarakat sekolah serta masyarakat sekitar.

kompetensi professional atau keahlian pendidik dalam hal penguasaan dan pemahaman muatan materi pelajaran dengan baik dan rinci sehingga dapat mengajar dengan optimal sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya.

Kompetensi professional seorang pendidik hanya dapat diperoleh melalui pendidikan profesi. Bahkan dalam peraturan Menteri Agama nomor 16 tahun 2010 terkhusus untuk guru PAI diharuskan memiliki 6 kompetensi yaitu: kompetensi pedagogic, kepribadian, sosial, professional, spiritual, dan leadership.

Kemajuan Teknologi

Kecenderungan penggunaan teknologi canggih dalam kehidupan modern, terutama teknologi komunikasi (information technology) mengharuskan guru untuk mampu memanfaatkannya untuk kegiatan pembelajaran secara lebih efektif dan fungsional. Kemajuan teknologi yang secara signifikan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia tentu sangat membantu dan mempermudah aktivitas manusia jika teknologi digunakan dengan baik dan bijak, termasuk dalam dunia pendidikan. Seorang guru PAI sangatlah terbantu oleh penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran sehingga menjadi keharusan untuk memiliki keterampilan dalam menggunakan teknologi itu sendiri.

Meskipun keterampilan semacam ini juga termasuk dalam profesionalitas seorang guru akan tetapi bagi pendidik PAI masih banyak yang belum mampu menyajikan pembelajaran agama dengan menggunakan pendekatan tekhnologi baik sebagai alat pembelajaran maupun sumber belajar. Sementara peserta didik sekarang lebih cenderung menyukai pembelajaran dengan pendekatan audio visual, Audio Visual secara sederhana adalah instrument atau perangkat pembelajaran yang memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengolah materi pembelajaran dalam bentuk suara dan gambar seperti video sehingga peserta didik lebih mudah memahami pembelajaran itu sendiri.

Peserta didik akan lebih mudah memahami pelajaran agama yang disajikan dengan visualisasi seperti video. Contoh sederhanya pada materi Aqidah Akhlak dalam bab iman, visualisasi makhluk ghaib seperti malaikat dan jin akan mempermudah peserta didik untuk paham materi itu sendiri. sehingga sulit memahamkan peserta didik hanya dengan metode-metode pembelajaran yang klasik seperti ceramah. Peserta didik sekarang memang hidup dalam lingkaran kemajuan tekhnologi sehingga dalam pembelajaran pun tidak bisa dipisahkan dengan tekhnologi itu sendiri sebagai salah satu media sekaligus sumber belajar bagi peserta didik. Bagi guru PAI, materimateri aqidah akhlak, fikih dan lain-lain sangatlah mudah diajarkan dengan bantuan tekhnologi.

Namun realitasnya masih banyak guru PAI kita yang belum mampu menjadikan teknologi sebagai media pembelajaran sekaligus sebagai sumber belajar. Meskipun penggunaan tekhnologi bukan penunjang utama tercapainya pembelajaran akan tetapi sangat membantu dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 yang dalam proses pembelajaran menekankan pada student centre atau pembelajaran yang berpusat pada siswa bukan lagi teacher centre atau pembelajaran yang berpusat pada guru.

Permasalahan yang dihadapi Guru PAI dalam pembelajaran dan Solusinya

Di dunia pendidikan, seorang guru merupakan pemeran utama dalam berjalannya interaksi antara peserta didik dengan konten pembelajaran yang diserap. Idealnya, para peserta didik dapat memahami pembelajaran dengan mudah hingga akhirnya capaian keberhasilan bisa memuaskan. Hanya saja, keidealan tersebut belum bisa terwujud di realita kehidupan pendidikan pada sebagian wilayah di negeri ini. Hal ini lantaran tidak semua guru sudah ideal selayaknya pendidik yang diidamkan. Bukan karena faktor intelektualitas semata. Namun bisa jadi karena beberapa aspek eksternal yang mempengaruhi kinerja guru.

Kendala guru yang sedang dialami jika dibiarkan terus menerus, tentu akan mengganggu aspek kelayakan guru dalam penyampaian materi maupun peserta didik gagal dalam mencapai keberhasilan. Oleh sebab itu, penting bagi guru lainnya untuk belajar dari pengalaman guru yang sudah dan telah berkecimpung dalam dunia pendidikan agar kendala tersebut tidak terjadi lagi serta memperburuk keadaan. Adapun catatan beberapa kendala guru teruraikan sebagai berikut:

Kurang Persiapan (Lacking of Preparation)

Menjadi guru bukanlah sesuatu yang mudah dan sekedar apa adanya di hadapan peserta didik. Bahkan jauh sebelum anda mengajar, ada banyak persiapan yang harus anda lakukan. Salah satunya yakni melakukan persiapan baik untuk memenuhi target pembelajaran maupun pemenuhan kebutuhan dokumen administrasi. Sehingga mau tak mau anda harus memahami bahwa persiapan yang anda lakukan bisa saja harus diwujudkan dalam satu periode ajaran. Keidealan ini nyatanya tak dapat dilakukan oleh semua guru sebab kondisi dan latar belakang yang berbeda – beda.

Sehingga menyebabkan banyak kasus yang didapati, bahwa guru kadang kurang persiapan dalam mengajar bahkan sekedar jalan tanpa harus disesuaikan dengan lesson plan, rpp atau capaian silabus yang perlu dipahami. Bahkan terkadang ada guru yang sama sekali tidak membuat bahan pelengkap seperti media pembelajaran dan tambahan dokumen lainnya.

Bagaimana solusinya? Salah satu cara yang bisa dilakukan yakni dengan menyusun RPP atau rencana persiapan pengajaran berdasarkan mata pelajaran masing – masing. Jika anda merasa ragu dengan susunan RPP yang dibuat, maka anda bisa meminta tolong untuk dikoreksi oleh senior maupun teman sebaya yang lebih memahami susunan RPP. Kemudian, cobalah untuk memikirkan beberapa kemungkinan, misalnya “apakah peserta didik memahami materi yang diajarkan? Apakah peserta didik butuh untuk mempraktekkan materi yang sudah diajarkan? Jika iya, lalu menggunakan apa?” Nah, biasanya dari pertanyaan tersebut anda akan sekalian melakukan rencana B dan C, jika rencana A tidak bisa dijalankan. Biasanya, salah satu unsur maupun komponen yang digunakan yakni dengan menyusun atau membuat media pembelajaran. Kemudian untuk pemantapan, anda bisa juga menyusun beberapa bahan evaluasi materi. Pun guru harus senantiasa memiliki karakter terampil dalam pengelolaan kelas berdasar karakteristik peserta didiknya. Hal ini bertujuan agar keseluruhan materi pembelajaran yang sudah diajarkan dapat ikut tersampaikan dengan sempurna. Jika kesulitan untuk membuat dalam waktu jangka panjang, cobalah untuk merancang serangkaian kegiatan pembelajaran yang bisa diterapkan seminggu sekali sehingga anda bisa melakukan evaluasi berkala.

Karakteristik peserta didik yang beragam (Students’ Habits)

Kendala lainnya yang dialami oleh para guru yakni keberagaman karakteristik peserta didik. Keberagaman tersebut akan menjadikan sang guru pada mulanya kesulitan untuk menuntukan model dan strategi pembelajaran yang dilakukan. Sebagai contoh misalnya, ada seorang peserta didik yang suka caper alias cari perhatian guru dengan berkeliling kelas atau sering mengacungkan tangan hanya sekedar ingin diperhatikan.

Namun, ada juga sebagian peserta didik yang tulus belajar dan aktif dalam pembelajaran. Hal lainnya lagi ada seorang peserta didik yang termasuk ke dalam tipe introvert dan cenderung sendirian meskipun sebenarnya sudah terbiasa berinteraksi dengan teman sejawatnya. Kemudian ada juga tipe peserta didik yang teramat sangat menanggung beban sehingga suka mengantuk di kelas dan hanya bangun ketika dipanggil namanya. Semua karakter ini harus bisa dipahami satu persatu oleh sang guru. Namun di saat yang sama, guru mata pelajaran tentu tidak akan selamanya bersama dengan kelas tersebut bukan? Ada kelas lain yang harus diajar sehingga proses pendalaman pada ragam karakter yang ada memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sebab hal ini akan berkaitan dengan penentuan pemberian sikap guru pada jenis karakter peserta didik yang demikian.

Menemukan Bakat dan Minat Peserta Didik (Find Their Passion)

Kendala lain yang dialami oleh seorang guru yakni kesulitan untuk menemukan bakat dan minat peserta didik. Hal ini wajar sebab tidak semua guru memiliki keahlian untuk menggali informasi yang sebenar – benarnya dari peserta didik. Kadangkala ada kasus dimana guru yang melakukan penggalian merasa percuma sebab peserta didik tidak menceritakan keseluruhan hal yang terjadi. Akibatnya, proses penggalian tidak bisa dilakukan lebih lanjut sebab tidak bisa diproses untuk pemberian solusi. Selain itu, beragam dokumen administrasi yang harus dan wajib disusun oleh para guru menjadikan mereka tidak memiliki banyak waktu untuk dekat dan akrab dengan peserta didik.

Akibatnya, sebagian peserta didik merasa abai dengan bakat dan potensi yang dimiliki. Mereka tidak sadar, bahwa di usia keemasan mereka harusnya lebih banyak melakukan eksplorasi agar di masa depan dapat mengetahui dengan jelas, kemana seharusnya mereka memberikan kontribusi. Salah satu dampak bila minat dan bakat peserta didik tidak tersalurkan, maka mereka akan agresif dan mudah melanggar aturan maupun tata tertib yang ada.

Kurang Konsentrasi (Lack of Concentration)

Kendala lainnya yang harus dihadapi yakni para peserta didik yang cenderung suka kehilangan konsentrasi. Ada banyak faktor yang menjadikan peserta didik bertindak demikian baik dari faktor psikologis, internal, lingkungan maupun yang lainnya. Maksud dari faktor lingkungan yakni faktor yang berada di sekeliling peserta didik misal saat mereka diberikan tugas terkadang terganggu dengan suara kelas yang ramai maupun dari ruang sebelah.

Sedangkan contoh dari faktor psikologis yakni pada saat siswa rentan mengalami tekanan, sehingga pengerjaan tugas tak akan dapat diselesaikan dengan mudah. Selain itu, gangguan ketidakmampuan untuk bersosialisasi juga menyebabkan peserta didik cenderung untuk mendapat tekanan psikologis dari dalam dirinya sendiri.

Kendala ini merupakan hal yang harus segera tersolusikan sehingga guru dan peserta didik sama – sama mendapatkan capaian target keberhasilan. Untuk mengalihkan fokus mereka hingga hanya pada anda saja, cobalah membuat metode pembelajaran berdasar para pakar maupun melakukan modifikasi agar sesuai dengan karakteristik mereka. Misal dengan membuat video tentang pembelajaran yang menggunakan beragam warna menarik. Bisa juga dengan penggunaan gambar dalam bentuk poster maupun flyer, bahkan menggunakan media belajar dari karya tangan sendiri.

Penutup

            Secara umum kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik muslim agar dapat memperoleh hasil pendidikan yang maksimal adalah kompetensi personal religious, kompetensi social religious, dan kompetensi professional religious. Ketika seorang guru PAI memiliki kualitas tentu sangat mudah mencapai tujuan pembelajaran dengan berbekal ilmu dan pengalaman yang dimiliki.

Referensi

[1]      Afnil Guza, Undang-undang SISDIKNAS dan Undang-undang Guru dan Dosen, (t.t.p: Asa Muda, 2009), hal. 52

[2]      Mursidin, Profesionalisme Guru Menurut Al-quran, Hadist dan Ahli Pendidikan Islam, (Jakarta: penerbit sedaun Anggota IKAPI, 2001), hal. 7

[3]      Mursidin.Profesionalisme Guru Menurut Al-Quran, Hadits dan Ahli Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Sedaun Anggota IKAPI,2011), hal. 7-13

[4]      Cicih Sutarsih.Etika Profesi, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI.2012), hal. 5- 7

[5] Abd Aziz. Orientasi Sistem Pendidikan Agama di Sekolah,(Yogyakarta:Teras.2010), hal. 5-9