Spirit Less Ambitious

Afita Nur Hayati.

OLEH: Afita Nur Hayati (Bekerja di UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah Kaltim Periode 2022-2027)

TAHUN baru Islam kali ini bertepatan dengan tanggal lahir anak saya yang ketiga, 19 Juli.  Usianya baru menginjak lima tahun.  Sementara tahun baru Islam kali ini sudah diangka 1455.  Itupun menurut beberapa sumber, mundur 17 tahun karena mulai dihitung dari hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke Madinah.  Di kalender meja kerja tanggal itu berwarna merah.  Artinya kami bisa menikmati libur satu hari di hari yang biasanya kami bekerja baik di lembaga pemerintah maupun perusahaan dan memanfaatkan waktu libur yang ada untuk melakukan jeda sejenak dari rutinitas harian yang biasa diselesaikan.

Memilih untuk tidur kembali setelah aktivitas pagi walaupun secara kajian kesehatan kurang baik untuk tubuh kita bisa saja menjadi salah satu pilihan.  Membuat kegiatan seru yang sudah direncanakan dalam whatsapp group dengan komunitas yang satu server dengan kita, menuju pantai bersama keluarga inti untuk menambah keeratan hubungan dan bisa jadi menyelesaikan satu buku yang sempat tertunda dibaca karena tingkat kesibukan yang luar biasa menjadi beberapa alternatif aktivitas di hari libur tahun baru Islam. 

Bagi anak yang berusia lima tahun pasti belum sampai tingkatannya ketika momen tahun baru Islam tiba kemudian kita minta untuk merenungkan perjalanan hidup yang telah dilaluinya, kita minta untuk merefleksikan capaiannya setahun lalu, dan menentukan langkah apa selanjutnya ke depan.  Dalam benaknya bermain adalah yang utama.  Tetapi bagi kita yang sudah baligh dan berakal sehat, tahun baru Islam menjadi momentum untuk hijrah ke arah yang lebih baik lagi.  Persamaan yang bisa kita rasakan adalah perasaan penuh kegembiraan dan kesyukuran.

Sebagai seorang hamba, patut kiranya kita membuka lembaran baru di tahun baru dengan semangat lebih baru.  Menyusun apa rencana dunia kita, apa rencana akhirat kita setelah capaian di tahun sebelumnya.  Jika rencana tahun lalu kita banyak yang terwujud, biasanya kita akan menambah rencana untuk satu tahun ke depan di saat tahun baru Islam tiba. 

Tahun lalu kita bisa kok mencapainya, kenapa sekarang tidak ditambah saja rencananya? Ya, dalam HR. Bukhari telah disebutkan bahwa manusia selalu merasa tidak pernah puas.  Manusia memiliki kebutuhan untuk memperbaiki diri sendiri secara terus menerus.  Thomas Alva Edison pun menyebutkan bahwa ketidakpuasan adalah hal pertama yang diperlukan untuk sebuah kata, kemajuan.  Tidak salah memang, tetapi jika hari esok harus lebih baik dari hari ini dipadankan dengan harga diri, identitas diri bahwa kita layak lo untuk diperhitungkan, kalau orang lain bisa kenapa kita enggak? bahwa kita layak menjadi anggota kelompok A, B, atau C kemudian menjadikan kita agresif, kurang sabar, tidak bisa membedakan kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya harus bersantai, mencoba melakukan ‘akselerasi’ dalam proses, maka hal ini menjadi patut untuk direnungkan dan dipertanyakan.  Apa kabar akal sehat kita? Apa kabar emosi kita? Apa kabar keimanan kita?

Mari maksimalkan ikhtiar, optimalkan tawakkal. Kita yang paling tahu kapasitas diri, tahu kapan harus injak gas dan tahu kapan harus sedikit berhenti.  Tak perlu validasi dari orang lain. Fokus atur waktu dan bersikap wajar.  Memiliki ambisi tidak dilarang, tetapi menikmati keindahan yang ada di sekitar kita juga penting.  Tetap bersyukur dan terus berdoa agar anugerahNya selalu menyertai langkah kita. Karena pemilik dunia lebih tahu mana yang lebih baik bagi kita.

*Opini ini merupakan bagian dari tanggungjawab penulis.