Diskursus Hukum Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dalam Regulasi Tentang Cipta Kerja

Zainal Abidin.

Oleh: Zainal Abidin, S.H. (Mahasiswa (S2) Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda).

KONSTITUSI mengamanatkan pengelolaan keuangan negara diwujudkan dalam APBN yang setiap tahunnya ditetapkan melalui undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka serta bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Regulasi Cipta Kerja) tanpa proses panjang (padahal dengan ukuran regulasi yang kompleks) akhirnya dibentuk untuk pembangunan ekonomi, dengan 11 klaster yang diatur di dalamnya. Pembentukan regulasi ini, menuai banyak kritik dari berbagai lapisan masyarakat pada tataran proses pembentukan dan pembahasannya, bahkan setelahnya. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, hingga lingkungan.

Regulasi ini intinya bertujuan untuk menciptakan dan memudahkan investasi di Indonesia, atau penulis sebut pembentukan hukum untuk pembangunan ekonomi. Dengan investasi sebagai center point untuk meningkatkan pemasukan keuangan negara, pemerintah membentuk dan mengatur mengenai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang diberikan kewenangan khusus (sui generis) untuk melakukan pengelolaan investasi pemerintah pusat, dan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020.

Namun tidak hanya proses penyusunan dan pengesahan regulasi Cipta Kerja yang menuai kritik, dalam substansinya termasuk pengaturan LPI bukan berarti tidak menemukan masalah. Telah diatur bahwa dalam hal lembaga ini mengalami kerugian, maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian negara, melainkan kerugian lembaga. Padahal di sisi lain apabila LPI rugi dalam mengelola aset negara, maka hal tersebut adalah kerugian negara. Selain itu, LPI ini tidak diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi justru hanya diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di BPK dan OJK. Berdasarkan hal tersebut maka ratio legis pembentukan lembaga ini belum memiliki arah hukum yang jelas dalam rangka pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan diskursus terkait pengelolaan keuangan negara dalam regulasi Cipta Kerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai konstitusi.

Menurut pemerintah 5,7%-6% pada 2021 pertumbuhan ekonomi akan meningkat, begitu juga dengan lapangan kerja sebanyak 2,7-3 juta pertahun (Katadata.co.id). Keberadaan LPI diharapkan menjadi mitra strategis bagi investor dan bukan tidak mungkin lapangan kerja serta taraf ekonomi masyarakat akan meningkat, mengingat awal 2020, terdapat 7.045.761 orang tidak memiliki pekerjaan diseluruh jumlah angkatan kerja (Rizky Dian, 2020). Namun LPI harus memiliki bargaining position yang kuat dan arah yang jelas untuk mengelola investasi/aset negara agar rakyat sejahtera, sehingga harus diawasi dan dievaluasi, terlebih dipahami bahwa LPI dibentuk dari regulasi yang menuai banyak kritikan oleh masyarakat. Sehingga memang pembangunan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja adalah salah satu solusi terbaik, asalkan tetap pada koridor hukum yang berlaku.

Problem LPI tersebut menjadi pertanyaan besar, karena LPI mengelola investasi, berarti mengelola aset negara, dan otomatis keuntungan/kerugian yang terjadi adalah dikategorikan keuntungan/kerugian negara. Karena keuangan negara mencakup APBN, APBD, dan keuangan yang ada di BUMN dan BUMD, dengan objeknya adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang (Djafar, 2008). Ini menunjukkan bahwa apabila LPI membuat negara mengalam kerugian, maka masuk dalam kategori kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan. Kemudian LPI juga lembaga pemerintahan yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara, sesuai Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK bahwa Pemerintahan Negara merupakan bagian dari pelaksana Pengelolaan Keuangani Negara.

Artinya dasar hukum pembentukan LPI (regulasi Cipta Kerja), kontradiktif dengan beberapa ketentuan terkait keuangan negara atau tidak harmonis (principle integrity), dan akan berdampak pada keadilan. Pada tataran ini keadilan yang dimaksud adalah keadilan kehidupan yang sejahtera oleh rakyat, karena terkadang partisipasi masyarakat tidak diarahkan menuju keadilan sosial, namun menyetujui dan melakukan keputusan yang berpihak pada pemodal (Sogge, 2020). Apabila LPI tidak dapat menjalankan tupoksinya dengan maksimal, dan tidak lepas dari pengaruh pemodal, maka ratio legis pembentukannya tidak akan tercapai.

Kemudian problem tidak diaudit oleh BPK/OJK, juga menjadi pertanyaan besar. Padahal BPK juga melakukan pemberantasan KKN, memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keuangan negara. Ini artinya LPI idealnya diaudit oleh lembaga sekelas BPK, karena tugasnya adalah mengelola investasi negara pasca berlakunya regulasi besar tentang pembangunan ekonomi. Sistem pengawasan dan pemeriksaan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara adalah untuk memastikan bahwa keuangan negara dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan hukum yang berlaku, karena keuangan negara pada dasarnya bersumber dari rakyat (Zainol, 2015). Sehingga perlu disadari LPI akan mengelola keuangan negara yang diperuntukkan kepada kesejahteraan masyarakat, mulai dari lapangan kerja, kemudahan berusaha kepada masyarakat secara merata, hingga pengelolaan keuangan negara yang bebas KKN.

Adanya problem tersebut, maka akan menjadi penghambat jalannya ratio legis pembentuk LPI. Terlebih dalam regulasi Cipta Kerja, LPI diberikan modal awal 15 triliun rupiah (dapat ditambah), sehingga keberadaannya harus dapat membantu perekonomian negara untuk peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai ratio legis regulasi Cipta Kerja. Kemudian berdasarkan problem tersebut, tidaklah salah apabila dicurigai bahwa LPI merupakan bagian kecil proyek besar dalam regulasi Cipta Kerja untuk mencapai kepentingan pemodal. Apalagi menyinggung Talcott Parsons Theory bahwa hukum dipengaruhi oleh beberapa sub sistem yang saling berkaitan yakni, ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Tittenbrun, 2013). Artinya kekuatan politik akan sangat besar dan tidak dapat dihindari (bagian sub sistem politik). Apabila tujuan regulasi ini menyimpang, maka LPI dapat menjadi alat untuk membelokkan kepentingan masyarakat dalam pengelolaan keuangan negara. Karena kerangka pikir pengelolaan keuangan negara adalah peningkatan transparansi dan akuntabilitas untuk penyelenggaraan negara yang bersih.

Bentuk kekhawatiran terhadap LPI tersebut adalah kekhawatiran terhadap pembangunan ekonomi, agar hadir model hukum yang efesien dan dapat diprediksi untuk mengakomodir kritik tersebut, terlebih LPI memiliki posisi yang kuat (dibentuk UU). Pandangan Reveiz dalam Lugo (2021) bahwa dalam model neoliberal, negara adalah yang paling berperan dalam pengelolaan SDA, sehingga memungkinkan dibangun sistem yang membuat korupsi berkembang. Dalam sistem itu lembaga-lembaga negara dapat mudah digunakan untuk melayani kelompok korporasi dan elite politik, yang dapat menghambat demokrasi dan keadilan dalam persaingan ekonomi. Adanya korupsi maka kualitas demokrasi terhambat dan berkorelasi negatif terhadap tata kelola negara, termasuk pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, problem LPI tersebut memberikan implikasi hukum dalam pengelolaan keuangan negara, yakni bayang-bayang praktik korupsi dan merugikan keuangan negara, sehingga amanat konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak akan terwujud.

*Opini ini bagian dari tangung jawab penulis.