Oleh: Afita Nur Hayati, S.Sos.,M.Si
Perbukitan itu mengalami longsor, rumah diterjang banjir bersama dengan lumbung persediaan makanan. Sementara akses keluar penghubung antar daerah putus. Dasyatnya bencana membuat para korban banjir dan tanah longsor gemetar, was-was mengalami trauma walau tetap bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara pasca kejadian besar yang dialami dalam sejarah hidupnya. Lembaga-lembaga filantropi dan para relawan datang mengulurkan banyak bantuan. Membuka akses jalan, menyuplai bahan makanan, mendirikan kembali rumah tempat mereka tinggal yang luluh lantak. Memberikan semangat untuk bangkit dari keterpurukan.
Para penyintas (baca:korban) baik laki-laki maupun perempuan, rentan terdampak karena tak punya pilihan lain untuk tinggal selain ditempat yang ternyata rawan bencana. Memisahkan mereka dengan tanah tempat mereka lahir dan tumbuh kembang bisa dilakukan sebagai mitigasi resiko dengan tujuan mencari tempat yang lebih aman untuk menatap hari esok. Persoalannya terkadang mereka tidak semuanya bersedia walau mereka tahu berada dalam kawasan yang rawan bencana dengan segala konsekuensinya. Sehingga kesadaran dan kesiapan masyarakat di daerah bencana untuk menghadapi resiko perlu terus ditanamkan.
Mengungsi ke daerah yang lebih tinggi atau yang dirasa aman menjadi pilihan sampai rumah-rumah sederhana terbangun. Selama mengungsi bagaimana nasib perempuan dan anak-anak ketika harus tinggal di area dengan kondisi nihil fasilitas? Apakah mereka aman ketika membersihkan diri atau ketika mengistirahatkan badan? Adakah ketersediaan air bersih pasca bencana ketika siklus setiap bulan bagi perempuan yang masih mestruasi cukup tersedia? Bagaimana asupan gizi mereka? Apakah pemenuhannya dinomorduakan ketika mendapat bantuan setelah laki-laki karena para laki-laki yang bergotong royong untuk membangun kembali rumah-rumah tinggal agar kembali seperti sedia kala.
Padahal perempuan juga memerlukan asupan gizi seimbang untuk membantu kesehatan mental mereka sehingga mereka mempunyai kemampuan prima dalam memastikan tumbuh kembang anak-anak yang ada didekat mereka sehingga tidak timbul masalah baru seperti terjadinya kekurangan gizi pada anak.
Rangkulan untuk jiwa mereka karena pengalaman sosial yang mereka alami, menjadi saksi hidup bencana yang melanda, menjadi poin yang paling utama. Mencarikan hunian sementara yang ramah terhadap perempuan dan anak menjadi tidak hanya penting tetapi mendesak untuk harus ada. Ketika kesehatan fisik terjaga maka kesehatan mental menjadi lebih tertata.
Meratus tetaplah menjadi penyangga keseimbangan alam, agar anak-anak penerus peradaban menikmati indahnya masa depan dengan doa tulus para ibu perestu jalan kehidupan.
—
Opini ini dalam rangkaian mensukseskan program Psikososial Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kaltim Senyum Bersama Meratus