Oleh Prof DR KH Haedar Nashir, M.Si. (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
Umat Islam baik di dunia muslim pada level global maupun di ranah nasional Indonesia tidaklah satu golongan, mazhab, dan aliran. Kenyataan ini tidak terbantah sebagai realitas sejarah yang akarnya bahkan dimulai pada pasca Nabi Muhammad wafat dalam peristiwa pemilihan pimpinan atau khalifah yang dikenal dengan Tsaqifah Bani Saidah.
Kemudian mencuat secara lebih terbuka pada pasca kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dalam perselisihan politik panjang dengan Umayyah. Lahirlah Khawarij dan berbagai paham, aliran, dan golongan dalam sejarah Islam klasik hingga berkesinambungan sampai saat ini.
Di negeri ini keragaman paham dan golongan sudah diterima sebagai kenyataan dunia umat Islam Indonesia yang satu sama lain secara umum saling menghargai, menghormati, dan bekerjasama.
Keragaman itu kadang atau tidak jarang menimbulkan gesekan dan konflik baik ringan maupun keras sebagai wujud dinamika kehidupan umat Islam yang pada kenyataannya memang tidak lepas dari konflik dan integrasi sebagaimana hukum sosial yang nyata. Lebih-lebih jika menyangkut perjuangan dan kepentingan politik umat Islam, seringkali perbedaan dan keragaman politik itu tajam hingga membelah.
Karenanya setiap ada pernyataan tokoh atau golongan sebagai mewakili aspirasi dan perjuangan umat Islam harus dikonfirmasi apakah benar-benar mewakili keseluruhan umat Islam atau sebatas klaim yang bersangkutan secara terbatas.
Lain halnya ketika para tokoh dan golongan di tubuh umat Islam bermusyawarah dan sampai pada konsensus tentang aspirasi dan strategi perjuangan yang memang merupakan representasi dari keseluruhan umat Islam atau setidak-tidaknya suara mayoritas umat Islam.
Di sinilah pentingnya keseksamaan agar di satu pihak umat Islam tersus menerus mencari titik temu namun pada saat yang sama saling menghormati dan bertoleransi dalam keragaman sejauh semuanya demi untuk kejayaan Islam dan umat Islam.
{Suara Muhammadiyah}